"Dalam hidup kita harus saling memegang amanah, berlaku benar dan tidak mengelak tanggung jawab."
Dua orang sahabat bak pinang dibelah dua, tak terpisahkan! Mereka berkawan sejak kecil dan saling menaruh percaya. Seorang adalah pedagang, dan seorang lain bendahara kerajaan. Namun, pergolakan politik membuat kerajaan pecah. Disintegrasi membuat kedua sahabat itu terpisah di dua negeri yang berbeda. Setelah dua tahun lewat, si pedagang ingin mengunjungi sahabatnya. Lalu ia pergi ke negeri seberang, tempat sahabatnya menetap.
Ketika si pedagang tengah berjalan-jalan di tengah kota, raja segera diberi tahu, “Raja ada seorang mata-mata lalu-lalang di negeri kita!” Tampak sigap, sang raja memerintahkan menangkap si pedagang. “Hai, kamu mata-mata, apa yang kamu cari di negeriku?” raja mulai mengintrogasi si pedagang. “Hamba hanya pedagang yang ingin mengunjungi seorang sahabat di negeri ini,” jelas si pedagang. Alasan itu diacuhkan dan kecurigaan sang raja jauh lebih berkuasa.
Dalam persidangan yang serba kilat, hukuman mati dijatuhkan! Lalu di pedagang sujud menyembah sang raja, “Perkenankan hamba kembali ke negeri hamba terlebih dahulu. Hamba harus menyerahkan semua investasi hamba kepada anak dan istri, jika tidak, mereka akan terlantar dan hidup dalam kesengsaraan. Setelah itu hamba akan kembali untuk menjalani hukuman mati!” “Gila! Apa aku ini raja bodoh? Mana ada tawanan dilepaskan, dan mau kembali untuk mencari mati?” sahut sang raja. “Ya mulia, hamba punya seorang sahabat di negeri ini, dia belahan jiwa saya. Dia pasti mau menjadi jaminan bagi hamba!” usul si pedagang.
Lalu menghadaplah si bendahara kerajaan kepada raja! “Benarkah terpidana ini karibmu?” tanya raja. “Benar, paduka. Dan hamba bersedia menjadi jaminan baginya. Bagi hamba ini sebuah amanah. Bahagia rasanya melihat sahabat hamba pergi menempuh risiko untuk mencari hamba, dan kini hamba rela menawarkan hidup ini untuknya!” si bendahara mencoba meyakinkan sang raja. “Ingat! Jika dia tidak kembali dalam waktu tiga puluh hari, kepalamu yang aku pancung!” tegas sang raja! Sahabat itu mengangguk setuju. Saat akhir batas waktu yang disepakati, raja menanti si pedagang hingga sore hari.
Si pedagang tak kunjung datang. Segera setelah matahari terbenam raja memerintahkan tawanan segera dipancung! Sementara leher si bendahara sudah di bawah eksekusi pancungan, tiba-tiba seseorang berteriak, “Raja, raja, hamba datang! Jangan pancung sahabat hamba!” Si pedagang menarik tubuh sahabatnya, dan merebahkan dirinya di bawah kapak pancungan! “Sekarang aku telah siap untuk menjalani hukumanku!” katanya seraya menatap tajam sahabatnya, “terima kasih karena engkau mempercayaiku!”
Si bendahara tak ingin bergeser dari pancungan! “Tidak! Aku sudah siap mati untukmu! Engkau telah mengamanahkan kepadaku, dan sesungguhnya jika engkau tak ke negeri ini mencariku, tak akan ada masalah ini, jadi...!” Perdebatan di bawah eksekusi pancungan itu berlangsung sengit, dan membuat raja amat terperangah.
Ia belum pernah melihat persahabatan seperti ini. “Diam, diamlah! Kalian aku bebaskan! Kalian tidak perlu mati. Persahabatan kalian yang mendalam itu adalah permata yang mahal,” seru raja, “dan aku mohon kepada kalian, izinkan aku menjadi sahabat ketiga kalian...” Raja menjadi sahabat ketiga dan mereka belajar sebuah hikmat, bahwa dalam hidup kita harus saling memegang amanah, berlaku benar dan tidak mengelak tanggung jawab, termasuk dalam mengisi persahabatan.
Sumber : Djodiismanto