Berpikir Kritis dapat diasumsikan sebagai proses kognisi dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Berpikir merupakan kapabilitas atau kemampuan yang dapat dipelajari. Fisher (dalam Euis,2007)) mendeskripsikan bahwa paling sedikit tiga aspek penting keterampilan berpikir, yaitu berpikir kritis, berpikir kreatif, dan problem solving. Ketiga aspek tersebut saling berkomplementer tetapi saling berhubungan. Problem solving perlu penemuan masalah dan pertanyaan-pertanyaan untuk menyelidiki (berpikir kreatif) dan mengevaluasi solusi yang diusulkan (berpikir kritis). Bepikir kritis perlu mengorganisasi keterampilan berpikir seseorang ke dalam suatu kombinasi sebagai alat kerja (berpikir kreatif). Pada akhirnya berpikir kreatif perlu berpikir kritis. Problem solving mungkin berupa penyelidikan kreatif, yaitu berhubungan dengan penyelidikan untuk menemukan solusi masalah-masalah open-ended, menggunakan berpikir divergen dalam menyelesaikan masalah, dan lain-lain.
Dalam usaha meningkatkan kemampuan berpikir kritis, maka harus memperhatikan fase-fase kemampuan berpikir kritis. Selanjutnya akan diuraikan fase-fase kemampuan berpikir kritis menurut beberapa ahli.
Brookfield (dalam Euis,2007)) mengidentifikasi lima fase berpikir kritis, yaitu: (1) Trigger event (cepat tanggap terhadap peristiwa), yaitu pengenalan suatu peristiwa tak terduga yang mengakibatkan terjadinya konflik kognisi internal, (2) Appraisal (penaksiran), yaitu menilai situasi dan mulai bekerja secara teliti, menghadapi peristiwa tak terduga dengan berbagai cara, mengklarifikasi dan mengidentifikasi perhatian orang lain dalam menghadapi situasi serupa. (3) Exporation (eksplorasi), yaitu mencari makna ke resolusi, atau cara dalam menjelaskan pertentangan untuk mengurangi konflik kognisi, mendorong seseorang untuk mencari maksud/arti, menyelidiki cara pikir dan bertindak, (4) Development alternative perspective (mengembangkan alternatif perspektif), yaitu mengembangkan cara pikir baru yang membantu seseorang menyesuaikan kepada peristiwa yang tidak diharapkan. Transisi ini melibatkan suatu usaha untuk mengurangi ketidaksesuaian dalam hidup seseorang, dan (5) Integration (integrasi), yaitu menegosiasikan perspektif baru untuk menfasilitasi integrasi perubahan hidup seseorang, melibatkan pengintegrasian konflik kognisi secara internal atau eksternal untuk mencapai suatu resolusi.
Norris dan Ennis (dalam Euis,2007)) mengidentifikasi lima fase berpikir kritis, yaitu: (1) Elemetary clarification (klarifikasi tingkat rendah), yaitu memusatkan pencapaian klarifikasi umum suatu masalah melalui analis argumentasi, pertanyaan, atau jawaban, (2) Basic support (pendukung dasar), yaitu memutuskan sumber yang kredibel, membuat dan memutuskan hasil pengamatan sendiri; melibatkan informasi yang berbeda, kesimpulan yang diterima, dan latar belakang pengetahuan. (3) Inference (kesimpulan), yaitu membuat dan memutuskan kesimpulan secara induktif dan deduktif, (4) Advanced clarification (klarifikasi tingkat tinggi), yaitu membentuk dan mendefinisikan terminologi, memutuskan dan mengevaluasi definisi, menentukan konteks definisi berdasarkan alas an yang tepat, dan (5) Strategi and tactics (strategi dan cara-cara), yaitu berinteraksi dengan orang lain untuk memutuskan tindakan yang sesuai; mendefinisikan masalah, menaksir kemungkinan solusi dan mengkonstruksi alternative solusi; monitoring keseluruhan proses pengambilan keputusan.
Bullen (dalam Euis,2007)) mengidentifikasi empat fase berpikir kritis, yaitu: (1) Clarification (klarifikasi), yaitu menilai/memahami sifat alami pada poin-poin pandangan yang berbeda pada isu, dilema, atau masalah. (2) Assessing evidence (menilai fakta), yaitu memutuskan kredibilitas sumber, menaksir bukti untuk mendukung kesimpulan; menetapkan dasar menarik kesimpulan. (3) Making and judging inference (membuat dan menarik kesimpulan), yaitu menduga secara induktif dan deduktif, dan menilai keputusan; pengambilan keputusan dengan pertimbangan bukti yang cukup untuk mendukung argumentasi, dan (4) Using appropriate strategies and tactics (menggunakan strategi dan cara-cara yang tepat), yaitu menggunakan heuristik atau strategi untuk mengarahkan pikiran dalam proses pencapai kesimpulan, membuat suatu keputusan, atau pemecahan suatu masalah secara efektif.
Garnisun, Anderson, dan Archer (dalam Euis,2007)) membagi empat fase berpikir kritis, yaitu: (1) Trigger event (cepat tanggap terhadap peristiwa), yaitu mengidentifikasi atau mengenali suatu isu, masalah, dilemma dari pengalaman seseorang, yang diucapkan instruktur, atau pelajar lain, (2) Exporation (eksplorasi), memikirkan ide personal dan sosial dalam rangka membuat persiapan keputusan, (3) Integration (integrasi), yaitu mengkonstruksi maksud/arti dari gagasan, dan mengintegrasikan informasi relevan yang telah ditetapkan pada tahap sebelumnya, dan (4) Resolution (mengulangi penyelesaian), yaitu mengusulkan solusi secara hipotetis, atau menerapkan solusi secara langsung kepada isu, dilema, atau masalah serta menguji gagasan dan hipotesis.
Berdasarkan fase-fase berpikir kritis yang di kemukakan oleh ahli tersebut, terlihat bahwa pada fase pertama memiliki kesamaan arti walaupun menggunakan istilah yang berbeda, trigger event (Broofield ; Garnisun, Anderson, dan Archer), dan klarifikasi (Norris dan Ennis, Bullen). Pada prinsipnya fase ini merupakan proses memahami suatu isu, masalah, dilemma dari berbagai sumber. Pada fase kedua, memiliki kesamaan arti walaupun menggunakan istilah yang berbeda, yaitu appraisal (Broofield), klarifikasi dasar (Norris dan Ennis), assessing evidence (Bullen), dan eksplorasi (Garnisun, Anderson, Archer). Pada prinsipnya fase ini merupakan proses merencanakan solusi suatu isu, masalah, dilemma dari berbagai sumber. Pada fase ketiga eksplorasi (Broofield), menarik kesimpulan (Norris dan Ennis), fase keempat menarik kesimpulan (Bullen), dan integrasi (Garnisun, Anderson, Archer) memiliki arti yang sama, yaitu menerapkan rencana yang telah dikonstruksi pada fase sebelumnya. Dalam menerapkan rencana, tidak cukup dengan menemukan solusi tetapi pengembangan soludi lebih mendalam seperti fase keempat mengembangkan alternative perspektif (Broofield) dan klarifikasi tingkat tinggi (Norris dan Ennis). Selanjutnya fase kelima intergrasi (Broofield), strategi dan cara-cara (Norris dan Ennis; Bullen), dan resolusi (Garnisun, Anderson, Archer) memiliki arti yang sama, yaitu memeriksa kembali solusi yang telah dikerjakan, termasuk mengembangkan strategi alternatif solusi lainnya.
Berpikir kritis dalam belajar matematika merupakan suatu proses kognitif atau tindakan mental dalam usaha memperoleh pengetahuan matematika berdasarkan penalaran matematika. Penalaran matematika Sumarmo (dalam Euis,2007)) meliputi menarik kesimpulan logis; memberikan penjelasan dengan menggunakan model, fakta, sifat-sifat, dan hubungan; memperkirakan jawaban dan proses solusi; menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematika; menarik analogi dan generalisasi; menyusun dan menguji konjektur; memberikan lawan contoh (counter example); mengikuti aturan inferensi; memeriksa validitas argumen; menyusun argumen yang valid; menyusun pembuktian langsung, pembuktian tak langsung dan menggunakan induksi matematika.
Berpikir kritis matematik meliputi kemampuan untuk bereaksi terhadap masalah matematika dengan membedakan pendapat dan fakta, kesimpulan dan pertimbangan, argumentasi induktif dan deduktif, serta objektif dan subjektif. Selanjutnya kemampuan untuk membuat pertanyaan, mengkonstruksi dan mengenali struktur argumentasi, alasan-alasan yang mendukung argumentasi; mendefinisikan, menganalisis, dan memikirkan solusi permasalahan; menyederhanakan, mengorganisasi, mengklasifikasi, menghubungkan, dan menganalisis masalah matematika; mengintegrasikan informasi dan melihat hubungannya untuk menarik kesimpulan; selanjutnya memeriksa kelayakan kesimpulan, menerapkan pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh ke permasalahan matematika yang baru.
Dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis, membutuh strategi-trategi tertentu. Fisher (dalam Euis,2007)) menguraikan tiga jenis strategi berpikir kritis yang saling bergantung, yaitu (1) Strategi afektif adalah kemampuan untuk berpikir bebas dari yang lain. Ini termasuk mengambil pandangan orang lain; (2) Kemampuan makro adalah kemampuan untuk memanfaatkan, dan mempunyai pemahaman mekanis atau ketrampilan lain yang sedang digunakan untuk sembarang tugas, dan (3) Keterampilan mikro adalah menekankan belajar bagaimana cara untuk bertanya, kapan untuk bertanya, dan apa yang akan ditanyakan ; dan belajar bagaimana cara memberi alasan, kapan untuk memberikan alasan, apa metoda yang digunakan.
Selanjutnya Fisher menekankan pada indikator keterampilan berpikir kritis yang penting meliputi:
a. Mengatakan kebenaran pertanyaan/pernyataan
b. Menganalisis pertanyaan/pernyataan
c. Berpikir logis
d. Mengurutkan, misalnya secara temporal, secara logis, secara sebab-akibat
e. Mengklasifikasi, misalnya gagasan-gagasan, objek-objek
f. Memutuskan, misalnya apakah cukup bukti
g. Memprediksi (termasuk membenarkan prediksi)
h. Berteori
i. Memahami orang lain dan dirinya
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka kemampuan berpikir kritis yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri atas lima fase, yaitu memicu kejadian (Trigger event), eksplorasi, menarik kesimpulan, klarifikasi, dan resolusi. Trigger event, yaitu kemampuan mengidentifikasi kelengkapan premis suatu pernyataan, konsep-konsep yang dibutuhkan dalam membuktikan suatu pernyataan. Eksplorasi, yaitu kemampuan mengkonstruksi makna/arti, menyelidiki ide matematika. Menarik kesimpulan yaitu kemampuan membuat dan memutuskan ide matematika secara induktif atau deduktif. Klarifikasi, yaitu kemampuan mengevaluasi dan menjelaskan, menentukan konteks ide matematik. Resolusi, yaitu kemampuan mengusulkan/memperbaiki langkah-langkah bukti suatu pernyataan matematika.
Kemampuan berpikir kritis dapat terlatih bila kemampuan itu diterapkan dalam situasi diskusi di kelas yang membahas konsep matematika tertentu. Dalam diskusi tersebut antar siswa beradu argumentasi secara rasional. Jika dalam proses pembelajaran seorang guru selalu berupaya melatih siswanya untuk berpikir kritis maka out-put pembelajaran menghasilkan siswa-siswa pemikir kritis yang baik. Baked (2004) mengemukakan lima komponen dalam berpikir kritis yang baik, yaitu (1) Skillful (terampil), menerapkan ketrampilan dalam bentuk proses berpikir, (2) Responsible (dapat dipertanggungjawabkan), berpikir kritis merupakan tindakan publik, bukan tindakan pribadi. Argumentasi yang dikemukakan berperan untuk suatu diskursus, (3) Berdasarkan kriteria untuk membuat keputusan, seorang pemikir kritis yang baik berpikir dengan tegas mengapa dia menarik kesimpulannya dan memeriksa penalaran untuk kesimpulannya. Dengan demikian seorang pemikir kritis tidak hanya melihat apa yang dipertimbangkan tetapi ia juga melihat mengapa kita mengambil kesimpulan tersebut, (4) Mengembangkan presentasi yang sensitif ke konteks, respek terhadap cara-cara di dalam bidang tertentu dan disesuaikan dengan kesimpulan di dalam bidang tersebut, dan (5) Self-correcting (koreksi diri), seorang pemikir kritis yang baik secara konstan berusaha untuk meningkatkan berpikirnya, seperti memonitor proses berpikir, menggunakan umpan balik, dan internalisasi kemampuan kritik.
Sumber : Euis Eti Rohaeti (Tesis)
0 komentar:
Posting Komentar